Langsung ke konten utama

Postingan

I'm done. Thanks and take care

Jiwa dan Raga adalah sepasang sahabat. Maaf, diralat. Jiwa dan Raga dulunya adalah sepasang sahabat. Jika boleh mengutip lirik lagu Tulus, Jiwa ibarat sepatu kanan dan Raga sepatu kiri. Mereka berlari, berkarya dan mengejar mimpi bersama.  Raga adalah seorang pria yang menyenangkan. Dia pandai menjalin komunikasi sehingga punya banyak kolega, cerdas, tapi lucu. Dia adalah tipikal "penghibur" jika berada diantara teman-temannya. Sementara Raga adalah antitesisnya. Ia sulit untuk kenal dengan orang baru, sangat tertutup, minderan, manusia dengan jokes yang terkadang hanya dia sendiri yang paham. Ajaibnya, Tuhan mentakdirkan mereka bersahabat bahkan mungkin lebih dari itu.  Jiwa beranggapan, dalam perputarannya alam semesta ini membutuhkan keseimbangan. Ada pagi, ada malam. Ada yang datang, ada yang pergi. Ada yang pemarah, ada yang sabar. Ada yang baik dan ada jahat. Begitu pula ada Jiwa dan ada juga Raga.  Mereka sering bercerita tentang mimpi, melepas penat sambil berkeluh ke
Postingan terbaru

Manusia Terfavorit

source: Pinterest

Beranjak

Kami bertengkar hebat di parkiran tengah malam itu. Dia dengan segala egoisnya, akupun.  "Kalau kamu begini terus, gak bakal ada orang yang tahan dengan kamu. Termasuk saya," kataku setengah berteriak.  Mataku panas, dadaku sesak. Aku tidak punya kata-kata lagi untuknya. Yang ku tau, aku mencintainya. Tapi terkadang mencintainya juga menyakitiku. Dia diam. Membuka bungkus rokoknya, mengambilnya sebatang, kemudian menyalakannya. Dia duduk di atas jok motor tuanya. Dia menjemputku malam itu, dan berencana mengantarku pulang.  "Iya. Saya memang egois. Saya butuh yang mengerti saya. Kalau kamu tidak bisa mengerti, kamu sama aja seperti yang lainnya berarti," katanya. "Saya pikir kamu benar-benar bisa mengerti mau saya. Tapi ternyata tidak," katanya lagi. Dia membelakangiku. Dari belakang ku lihat tubuhnya yang makin kurus, rambut acak-acakan, dan ransel kecil pemberian dariku yang selalu ia bawa kemanapun. Kami berdua terdiam.  Ka

Terjatuh Dulu, Bangkit Kemudian

Ada masa dimana bumi mungkin tetap berputar pada porosnya, tapi kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan harapan kita. Ada masa dimana kita harus kecewa, menahan luka, dan putus asa. Tak apa. Itu semua tak apa...  Percaya, ada masa juga dimana bumi tetap berputar pada porosnya, dan semesta bekerja seperti cara kita. Di saat itu namanya bahagia, dan tak henti melantukan syukur pada-Nya. Tenang. Semua ada masanya. dari teras rumah

Berjarak Agar Tetap Berdetak..

Sudah seminggu ini lamanya gue kerja dari rumah atau Working From Home (WFH). Cepatnya penyebaran virus Covid-19 ini membuat gue terpaksa harus mengurung diri di rumah alias melakukan social distancing.  Diantara jutaan manusia di luar sana, gue termasuk beruntung. Iya, beruntung aja. Kondisi gue yang lagi hamil besar menjadi penyelamatnya. Tapi gak juga. Di sisi lain gue tetep khawatir. Khawatir jika virus brengsek ini berhasil masuk ke badan gue. Makanya gue berusaha sekali menjaga semuanya agar baik-baik saja.  Setiap menit, setiap jam, setiap hari, gue menyaksikan bertambahnya jumlah orang yang meninggal dan terinfeksi virus ini. Sedih? Iya. Takut? Apalagi. Tapi, sebagai warga negara yang baik, patuh dan membayar pajak, gue cuma bisa menjalankan himbauan pemerintah untuk #dirumahaja, sembari terus berdoa ini cepat berlalu. Berkali-kali gue membaca pesan di handphone dari para rekan dan sahabat, semua sama: kami semua rindu. Rindu suasana kantor, rindu berdesak-desakan

Jadi Begini,

Menikah itu berat. Sejak zaman Prabu Siliwangi memerintah di Kerajaan Pajajaran pada 1443 Masehi, semua juga udah paham hal itu. Makanya gue suka "amaze", kok ada ya golongan manusia yang dikit-dikit ngeluh "Capek kerja, mau nikah aja", itu gimana ya maksudnya? Gue (kebetulan) menikah di usia 26 tahun. Kenapa kebetulan? Jangan mikir gue (amit-amit) hamil duluan, jangaaan ya. Gue menikah di usia yang mungkin terbilang masih tahap wajar ( kalo kata netijen, padahal ga ada kata terlambat untuk menikah kalo kata gue ). Padahal dalam timeline gue, targetnya gue pengen nikah di usia 28-29 tahun. Gue pengen menikah ketika udah selesai dengan diri sendiri. Tapi ternyata makin ke sini gue sadar, pasangan gue inilah yang ternyata membantu untuk pelan-pelan selesai dengan diri sendiri. Karena pada saat kita sudah menikah, tanggung jawab baru yang lebih besar sudah menanti di depan mata. Balik ke topik kenapa menikah itu berat, makanya ada banyak hal yang harus j

Kepada Sepasang Mata

Sebelumnya saya pernah terjatuh dalam sorotan sepasang mata yang dalam.  Saya pikir, itu satu-satunya sorot mata yang paling dalam yang pernah saya tatap seumur hidup saya. Ternyata saya salah.  Ada sorot mata lainnya. Tidak dalam, tapi justru dia terlihat lelah. Kosong. Bahkan bingung.  Dalam sepasang matanya, saya tahu betul ia sedang menyimpan sebuah luka. Luka lama yang sudah tidak mau lagi ia buka. Saya seakan paham bagaimana pedihnya. Tapi dia berusaha tertawa.  Sekarang saya percaya bahwa mata adalah jendela jiwa. Tapi tidak semua jendela itu terbuka. Beberapa orang memilih untuk menutupnya rapat-rapat. Sampai ia yakin ada tamu yang tepat, yang bisa membukanya. Dan saya percaya, dia akan menemukannya.